Angin Segar Buku Digital


Buku digital bukanlah barang baru. Seiring berkembangnya dunia digital, buku digital digadang-gadang bakal menggeser keberadaan buku fisik yang telah berdiri berabad-abad lamanya. Saya inget banget gaung buku digital udah terasa sejak pertama kali saya nyemplung ke dunia tulis menulis, tahun 2007. Seenggaknya dalam lingkup karier saya, konsep “buku digital bakal menggeser buku cetak” telah beredar selama empat belas tahun. Nyatanya, walau pertumbuhan pembaca buku digital meningkat, laju pertumbuhannya lambat dan belum mampu mengganti buku fisik.


Chart diambil dari sini.


Dengan laju perkembangan teknologi digital yang masif, minimal posisi buku digital dan buku fisik harusnya bisa sejajar, dong. Tapi coba lihat di Amerika, hingga 2019, buku digital tidak ke mana-mana. Padahal, kalau bicara teknologi, mereka jawaranya. Kelebihan-kelebihan buku digital yang ditawarkan – praktis, ramah lingkungan, portable, hemat ruang, dan lainnya – belum mampu menggerakkan banyak pembaca untuk beralih. 


Apakah ini sebuah gejala path dependence? Mungkin saja. Path dependence merupakan perilaku ketergantungan terhadap praktik tertentu secara berkelanjutan. Bisa dikatakan terdapat kebiasaan yang sulit diubah karena semua orang telah terbiasa akan hal tersebut. Keyboard QWERTY adalah contoh yang sering dipakai. Walau terdapat banyak tipe keyboard lain seperti Dvorak, Klockenberg yang menjanjikan kelebihan dibanding QWERTY, QWERTY tetap menjadi tipe keyboard utama di masyarakat. Mungkin posisi buku fisik juga begitu. Berdiri tegap berabad-abad, menjadi kebiasaan di masyarakat, dan akhirnya mengerak menjadi budaya.


Dari sisi penerbit, buku digital bisa menjadi solusi jika melihat biaya produksi yang jauh lebih rendah dibanding produksi buku cetak. Sekarang, hampir semua penerbit cetak juga menerbitkan versi digital. Anehnya, selisih harga antara buku cetak dan digital nggak terlalu banyak. Bahkan saya lihat, terkadang harga keduanya sama bahkan versi digital lebih mahal.  Bukankah buku digital harusnya jauh-jauh lebih murah? (Rekan-rekan pembaca ada yang tahu komposisi dalam penentuan harga buku digital? Kalau ada, berbagi ya  )



Mengapa buku digital tetap kalah?



Pertanyaan selanjutnya, dengan segala kelebihan yang dijanjikan, mengapa buku digital tetap kalah? Saya mencoba posting tentang kelebihan buku digital di IG (link), dan ternyata komentar yang muncul secara umum sama: buku fisik tetap nomor satu. Kalau dipotret lebih jauh lagi, aspek psikologis sepertinya memang dominan. Misal, saat proses membaca, buku cetak dirasa lebih “ramah” terhadap mata. Pembaca bisa betah berjam-jam menatap kertas dibanding menatap layar. Walaupun sebenarnya bisa diperdebatkan karena kadang seseorang rela-rela saja berjam-jam memandangi layar ponsel untuk melihat youtube, sosial media, game, dan lainnya. 


Buku cetak juga tergolong collectible item atau barang yang bisa dikoleksi. Artinya, ada aspek kepuasan lain ketika memiliki buku fisik, di samping kenyamanan saat membaca. Apa yang dirasakan kala melihat koleksi buku pribadi berjajar rapi di rak? Menyenangkan, bukan?  Buku fisik juga bisa meningkatkan kekerenan seseorang. Enggak percaya? Coba selfie dengan buku favoritmu dan posting di sosial media. Keren! Belum lagi kalau ketemu penulis idola, berfoto dengannya tidak afdal tanpa memegang buku fisiknya. Keren kuadrat! Saya belum pernah melihat orang selfie dengan buku digital. :p


Kalau digaris bawahi, buku cetak memang memberikan pengalaman tersendiri yang nggak bisa diberikan oleh buku digital. Mengapa? Karena menurut saya, buku digital dari dulu hingga sekarang ya gitu-gitu aja. Buku digital enggak lebih dari buku yang di-digital-kan, hanya peralihan media cetak menjadi digital tanpa adanya peralihan pengalaman. Tapi kan perkembangan teknologi digital pesat? Ya, memang pesat. Pesat untuk hal/produk lain kecuali buku digital. Buku digital tetap usang. Padahal, dunia digital memberikan area yang luas untuk berkembang. Sayangnya area tersebut diambil penyedia layanan streaming film dan kawan-kawan, bukan buku digital. Artinya, harus dipikirkan bagaimana buku digital bisa memberikan pengalaman yang nggak mampu diberikan oleh buku fisik. Misalnya bisa dicoba (mungkin sudah ada) penggabungan audiobook dan buku digital, atau buku digital dan musik.



Hadirnya platform menulis dan pandemi


Ada secercah cahaya untuk buku digital bernama platform menulis. Dengan menjamurnya platform tersebut, khususnya platform nasional seperti storial, cabaca, KBM, kwikku, dan lain-lain, buku digital seolah menemukan titik cerah. Kesempatan yang diberikan seluas-luasnya pada penulis untuk berkarya secara digital, disambut baik pula oleh pembaca. Terbukti beberapa cerita dari platform mampu meraih hingga jutaan pembaca. Banyak cerita yang berhasil dialihmediumkan menjadi film atau serial. Tentunya, ini adalah angin segar bagi pergerakan buku digital. Tren yang menjanjikan. 


Ditambah lagi datangnya makhluk bernama pandemi covid19 yang berimbas pada seluruh aspek kehidupan. Bisnis-bisnis terdampak negatif nggak terkecuali toko buku dan penerbit-penerbit buku cetak. Semoga kesulitan yang dilahirkan dari pandemi bisa diputarbalikkan menjadi potensi pergerakan buku digital. 


Mungkin saja ini adalah kereta terakhir kebangkitan buku digital. Jika terlewat, kita harus menunggu lagi, entah sampai kapan.



2 comments

  1. Saya sendiri lebih suka baca buku langsung, kalau digital agak kurang sensasi gmna gitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, kebanyakan orang juga seperti itu. Hehe

      Delete